Monday, 24 September 2012

Hulu Silsilah, Hilir Sejarah Cerpen Arman AZ (Suara Merdeka, 1 Juli 2012)

Cerpen Koran Minggu Kompas-Republika-Jawa Pos-Suara Merdeka-Kortem Home About Redaksi Hulu Silsilah, Hilir Sejarah Cerpen Arman AZ (Suara Merdeka, 1 Juli 2012) TUMPUKAN kertas itu, yakinlah aku, lama tak tersentuh. Tebalnya separuh jengkal jemari orang dewasa, dibebat tali plastik, berdebu, dan tepinya telah kusam kecokelatan. Hati-hati kusorong ia keluar dari lemari. Kupangku sambil duduk bersila di lantai kamar. Debu gentayangan menagih bersin beberapa kali. Tirai jendela meliuk ditiup angin petang. Kubayangkan roh Paman dalam gerak perlahan terbang turun naik berputar-putar, mengintai kelakuanku. Telah lewat sepekan Paman dipanggil Tuhan. Manusia unik, menurutku. Kikir bicara, jarang nampak batang hidungnya bila ada acara keluarga, keras hati membujang sampai mangkat di rumahnya yang sepetak tak terawat. Jarang keluar rumah, namun sekali pergi, jauh dan lama. Juga hal lumrah memergoki buku dan kertas berserak dalam rumahnya. Demikianlah, kubongkar lemari seraya menduga-duga ada sesuatu yang dirahasiakan Paman hingga akhir nafasnya. Lembar-lembar awal kuamati sekilas saja. Kliping koran, ketikan-ketikan, fotokopi sebuah buku. Terselip pula kertas berukuran lebih kecil; tiket-tiket ke sejumlah kota, kartu pos bergambar tempat wisata, nota makan, dan beberapa kartu nama. Menjelang akhir tumpukan ada beberapa helai yang entah kenapa membuatku tertarik membacanya. Di bagian atas kertas paling depan tertera kalimat: Hulu Silsilah, Hilir Sejarah. Di lembar terakhir, sejumlah kotak berisi nama-nama terhubung dengan garis, dan di bagian paling bawah ada kotak berisi sederet tanda tanya. Aku merasa tulisan ini berisi sepotong sejarah yang nyaris hilang. Sebelum ada yang menghibahkannya ke warung untuk kelak remuk sebagai bungkus sayur, kuketik ulang cerita ini. Setelah berpikir beberapa hari, kuputuskan untuk menyebarkannya kepada siapa saja. Barangkali ada yang tertarik membacanya. Selebihnya, tinggal tunggu saja bagaimana nasib tulisan orang yang sudah mati ini. *** Ke hulu silsilah aku menyisir jejak leluhur. Makuta yang tak jua kutemukan nisannya sepanjang Piabung. Nahkoda Muda yang mangkat di Bengkunat. Lella yang teguh hati mengantar surat ke Marlborough demi suaka bagi ratusan pengikut ayahnya. Juga Lauddin yang menguap bersama angin. Telah mereka toreh sejarah di tanah lada ini. Dan aku, serupa bocah piatu menyusun potongan-potongan puzzle seluas 230 tahun lebih. Ini ihwal sebuah tulisan. Jauh sebelum Munsyi Abdullah mahsyur dengan hikayat-hikayatnya, lebih seabad sebelum murka Kapi di Selat Sunda menggerakkan Muhammad Saleh untuk menggurat Syair Lampung Karam; jemari leluhurku lebih dulu mematri hikayatnya sendiri. Adalah Lauddin, sebuah nama yang tak pernah tercatat dalam sejarah negeri ini, menulis novel memoar dalam aksara Jawi berjudul Hikayat Nahkoda Muda. Dikhatamkannya penulisan novel ini tahun 1778. Berlatar Teluk Semangka pada zaman kompeni Belanda (VOC), Inggris (EIC), dan Kesultanan Banten. Berkisah seputar perniagaan lada; hasil bumi Lampung yang dulu melimpah dan sohor ke penjuru dunia namun kini tinggal cerita nyinyir atau nostalgi dari mulut ke mulut. Andai Butter Hunnings, pengurus gudang Inggris di Lais yang kemudian jadi residen di sana, tak tertarik mempelajari kondisi setempat dan meminta Lauddin menulis riwayat keluarganya; andai GWJ Drewes tak menerbitkan ulang hikayat itu di Den Haag dengan judul De Biografie van een Minangkabausen Peperhandelaar in de Lampongs; andai William Marsden tak menerjemahkan hikayat itu ke dalam bahasa Inggris menjadi Memoirs of a Malayan Family, barangkali aku akan buta silsilah, jadi anak yatim sejarah. Ah, tak semua orang berambut jagung dari negeri atas angin berniat buruk terhadap negeri ini. Manuskrip Hikayat Nahkoda Muda diboyong ke Inggris tahun 1791, namun karena alasan politis, isinya berkaitan dengan perselisihan Belanda dan Inggris, baru diterbitkan tahun 1830. Selain menerjemahkan, Marsden juga menyunting manuskrip asli dan membubuhinya dengan 70 catatan kaki yang padat. Dalam pengantarnya, Marsden menjelaskan, tak ada pretensi politik atau kepentingan sastrawi dalam novel itu. Hingga kini, novel yang merekam secuil sejarah Lampung masa silam, terutama resistensi penduduk lokal menghadapi kolonialisme, masih bisa ditemukan dan telah berulangkali dicetak ulang oleh penerbit-penerbit berbeda di luar negeri. Novel itu berisi hikayat tiga beranak. Berawal dari perjalanan Makuta, peniaga dari Minangkabau, yang berlabuh di Piabung, kemudian menetap dan beranak pinak di sana. Dia menikahi Radin Mantri, gadis dari Semangka. Dari pernikahan dengan cara semanda, lahirlah sembilan anak. Salah satunya bernama Inchi Tayan yang kelak berjuluk Nahkoda Muda, juga dianugerahi gelar Ki Demang Purwasidena oleh Sultan Banten dan pemerintah kompeni Belanda. Perlakuan culas kompeni kelak memantik Ki Demang dan empat putranya untuk menggelar amuk. Subuh buta, mereka bunuhi kompeni Belanda di Semangka. Kemudian melarikan diri bersama sekitar empat ratus pribumi Piabung. Berbondong-bondong mereka jalan kaki hingga Bengkunat, bermaksud meminta suaka pada pemerintah Inggris yang kala itu berpusat di Benteng Marlborough. Ki Demang menitahkan putranya Nahkoda Lella untuk mengantar surat ke Marlborough. Inggris yang tahu sepak terjang Ki Demang, menyambut Lella dengan tangan terbuka. Di depan anggota dewan Wyatt, Darval, Hay, Nairne, dan Steuart, juga disaksikan dua pangeran dan para datu dari Bengkulu, Gubernur Carter mengizinkan Ki Demang dan rakyatnya menetap di sana. Inggris juga akan menjamin keselamatan mereka dari kejaran Belanda. Ketika restu dari kompeni Inggris telah dikantongi, kembalilah Lella ke Krui, hendak melaporkan kabar gembira itu kepada ayahnya. Sayang, ajal tak bisa diajak kompromi. Ki Demang keburu mangkat di Bengkunat, sebelum membaca surat balasan yang menggembirakan dari pemerintah Inggris. Setelah Ki Demang meninggal, anak beranak keturunannya bak ayam kehilangan induk. Nasib membuat mereka terpisah, menyebar ke arah mata angin yang berbeda. Ada yang tetap tinggal di pulau Perca, menunggang ombak pergi ke Bali, atau menetap di sebuah tempat di Jawa yang di luar wilayah jajahan Belanda. Konon kabarnya, Lauddin jadi kerani di Lais. Cerita lain, dia jadi nahkoda untuk kerajaan Inggris. Dalam buku Bahasa Melayu Bahasa Dunia, Sejarah Singkat, terjemahan buku terbitan negara jiran Malay, World Language: A Short History, karya James T Collins, diterangkan bahwa novel ini berisi tulisan tentang ketabahan satu keluarga dalam menghadapi sistem kolonial yang korup serta merupakan tulisan yang bercirikan bahasa yang jelas dan tidak berbunga-bunga dengan menggunakan sedikit kata pinjaman dari bahasa Portugis dan Belanda. Berbekal serangkaian petunjuk, aku melacak ke hulu silsilah. Pada wajah-wajah yang kutemui di Piabung, Semangka, Bengkunat, dan Kampung Bali di Krui; aku menaruh wasangka, andai kami berasal dari leluhur yang sama, dari pohon silsilah yang sama. Pada sejumlah orang di Piabung aku bertanya. Barangkali mereka tahu di mana kubur Makuta. Semua mengerutkan dahi dan geleng kepala. Dua abad bukan waktu yang singkat. Tak terjangkau tak terlintas kisah itu dalam benak mereka yang telah lama jadi yatim piatu sejarah. Telah pula kusambangi Krui dan Bengkunat. Melintas rimba, rumah-rumah panggung sepanjang kampung berparas murung, dan berkilo jalan rusak parah. Dalam asin angin laut, aku bagai terlempar ke masa silam. Membayangkan Nahkoda Muda dan ratusan pengikutnya jalan kaki berhari-hari dari Piabung hingga terdampar di Bengkunat demi mencari suaka. Dari tetua-tetua yang ingatannya telah majal, namun suka bercerita silang sengkarut, kusimak dan kucatat beberapa informasi berharga. Di kampung Bali sepanjang pantai Krui, yang kudapat hanya secuil kisah mistis seputar kapal tanker yang karam di sini beberapa tahun silam. Dalam Hikayat Nahkoda Muda, banyak tempat dan istilah dalam ejaan lama yang tak kuketahui sebelumnya. Croee untuk Krui, Benkunat untuk Bengkunat, Piabong untuk Piabung, Bantam untuk Banten, Samangka untuk Semangka yang oleh kompeni kala itu disebut Teluk Keyser, proatin untuk perwatin, Baju atau Waju untuk suku Bajo, dan Percha sebagai nama kuno Sumatera. Hikayat Nahkoda Muda memuat banyak ihwal tentang Lampung abad 17-18; perniagaan, konflik horisontal para inlander, perlawanan terhadap kompeni, bahkan korupsi dan kolusi kala itu. Ah, nyatanya dari zaman kompeni sampai era serba cepat saji begini, korupsi dan kolusi tak mati-mati. Meski ragu, aku berharap Hikayat Nahkoda Muda bisa menjadi penyelamat masa depan sastra klasik negeri ini. Barangkali kelak akan ada yang berminat menerbitkan ulang memoar itu. Jika memungkinkan, naskah asli dalam aksara Jawi itu bisa dilacak keberadaannya. Mungkin ada di negeri atas angin. Lebih dari itu, mencegah klaim bahwa Hikayat Nahkoda Muda adalah milik bangsa lain. Jangan tanya Lauddin di negeri yang gemar melupa ini. Ia tak tercatat dengan tinta emas sejarah, asing dalam gempita. Ah, tentu ia tak ngaceng ingin sohor, dapat nomor urut dalam sejarah. Dan aku hanya bisa bertanya dalam hati, siapakah keturunan Lauddin kini? Alangkah bangganya mereka jika tahu ihwal puyang mereka. Bukan harta yang ia wariskan selain hikayat panjang keluarga mereka. Nyaris patah arang kulacak jejak puyang. Kusambangi sejumlah orang bertitel pujangga, sastrawan, sejarawan, dan budayawan, sambil menenteng ihwal Lauddin. Pun seorang ahli yang sedang menyambung pendidikan di luar negeri kukirim e-mail, hingga kini tak ditanggapi. Seperti disengat demam tinggi, kuceracaukan perihal hikayat ini pada mereka. Tak peduli jika benak mereka bergumam nyinyir, siapa dan apalah aku ini. Seperti kudengar desis dibalik senyum mereka, “Berhentilah bermimpi, Anak Muda” atau “Cari kerja lain yang lebih menjanjikan: PNS, sales, pialang, anggota dewan, atau makelar politik. Itu lebih konkret, duitnya jelas”. Ada pula yang pongah, merasa tak butuh sejarahnya sendiri, namun seolah memahami sejarah bangsa lain hingga sumsum dan lendirnya. Ah, mulut dan adab mereka membuatku mahfum, sesungguhnya dalam darah kami masih mengalir mental budak. Pohon yang tumbuh hampir tiga abad lampau, entah sudah berapa kali berbuah, entah sudah berapa daun gugur dan tumbuh, entah sudah berapa musim berganti. Muskillah buah matang di pohon tanpa jasa akar yang tumbuh dalam tanah. Namun, di zaman serba abai dan gegas begini, siapa masih setia menyisihkan waktu mencatat pohon keluarga? Ke hulu silsilah kucari kuburmu, Makuta. Ke hulu silsilah kukagumi semangatmu, Ki Demang. Ke hulu silsilah pula kucari jejakmu, Lauddin. Di hilir sejarah terlampau banyak simpang; orang-orang sibuk, abai, tak mengenalmu. Hendak kutabur bunga kulantun doa di kubur kalian yang tak bertanda. Maafkan aku yang merasa-rasa sebagai keturunanmu, menduga-duga kalian puyangku, mengaku-aku kalian leluhurku. Telah lama aku tumbuh dengan kaki gemetar di atas tanah retak. Kini aku serupa buah yang jatuh dari dahan, menggelinding liar, gemetar mencari silsilah akar. *** Demikianlah, saking semangatnya tulisan itu kuketik ulang dalam tempo semalam. Mati nungging aku bila ada yang kubuang atau kutambahi. Kuharap Paman tersenyum di alam sana. Aku mesti ziarah lagi ke makam beliau. Berdoa seraya berterimakasih karena ia, dengan caranya yang unik, memberitahuku secuil sejarah yang nyaris hilang. Di zaman serba abai dan gegas begini, siapa masih setia menyisihkan waktu mencatat pohon keluarga? Ah, kalimat itu menguntitku hingga kini. Terbetik niat menulis pohon keluarga agar keturunanku kelak, mengutip Paman, tak serupa buah yang ingkar pada silsilah akar. Agar anak cucuku kelak tak bingung dengan silsilah leluhur, pun tak linglung di hilir sejarah. (*) . . Bandar Lampung, 2011-2012 . Keterangan: Cerpen ini terinspirasi novel memoar “Hikayat Nahkoda Muda” karya Lauddin, yang dibuat tahun 1778, jauh sebelum era Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan “Syair Lampung Karam” (Muhamad Saleh). Novel ini nyaris tak pernah terungkap dalam risalah sastra Indonesia, namun diakui dalam sejarah sastra Malaysia. “Hikayat Nahkoda Muda” diterjemahkan William Marsden menjadi “Memoirs of a Malayan Family”. Hingga kini masih sering diterbitkan di luar negeri. Tak jelas silsilah atau generasi Lauddin berikutnya. Kapi adalah nama purba gunung Krakatau. Pulau Perca adalah nama kuno Sumatera. Like this: Like Be the first to like this. This entry was posted on Wednesday, July 11th, 2012 at 3:06 pm and is filed under Arman AZ. Tagged: Suara Merdeka. You can feed this entry. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed. 2 Responses cakep sob….hehe…blogwalking… servitekmultikarya - July 11, 2012 at 3:54 pm Reply Sangat-sangat kereeeeeeeeeeeen…, Syahandrian eda - August 27, 2012 at 10:14 pm Reply Leave a Reply « Menjemput Maut di Mogadishu Bunga Busuk » Theme: Day Dream by Jim Whimpey. Blog at WordPress.com.

No comments:

Post a Comment